Minggu, 04 November 2012

Rabies




RABIES


I.                   KONSEP DASAR TEORI

A.    PENGERTIAN

Rabies  adalah  penyakit infeksi tingkat akut susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies.

B.      MANIFESTASI KLINIS

Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bias bervariasi antara 7 hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun.
Gejala  sakit yang akan di alami seseorang yang terinfeksi rabies meliputi 4 stadium :
a.     Stadium prodromal
Demam, sulit makan yang menuju taraf anoreksia, pusing dan pening (nausea) dan lain sebagainya.
b.    Stadium sensori
Pada stadium ini Penderita umumnya akan mengalami rasa nyeri pada daerah luka gigitan, panas, gugup, kebingungan, keluar banyak air liur (hipersalivasi), dilatasi pupil, hiperhidrosis, hiperlakrimasi.
c.     Stadium eksitasi
Pada stadium ini penderita menjadi gelisah, mudah kaget, kejang-kejang setiap ada rangsangan dari luar sehingga terjadi ketakutan pada udara ( aerofobia ), ketakutan pada cahaya ( fotofobia ) dan ketakutan air ( hidrofobia ).
d.    Stadium paralitik
Pada satadium ini penderita menunjukan tanda kelumpuhan dari bagian atas tubuh ke bawah yang progresif.

C.     ETIOLOGI

Rabies disebabkan oleh virus rabies. Virus rabies ini masuk dalam family rhabdoviridae dan genus lysavirus, golongan virus RNA. Selubung terdiri dari lipid, protein matriks dan glikoprotein. Virus inaktif pada suhu 56©C, dan pada kondisi lembab sekitar 37©C virus dapat bertahan beberapa jam. Virus rabies juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45% atau larutan yodium(betadine).Virus ini hidup pada beberapa jenis hewan yang berperan sebagai perantara penularan.
Hewan perantara antara lain: rakun (procyon lotor), sigung, rubah merah, anjing. hewan perantara menginfeksi inang yang bisa berupa hewan lain atau manusia melalui gigitan. Infeksi juga dapat terjadi melalui jilatan hewan perantara pada kulit yang terluka. Meskipun sangat jarang terjadi, rabies biasa juga di tularkan melalui penghirupan udara yang tercemar virus rabies.

D.    PATOFISIOLOGI
Infeksi biasanya terjadi melalui kontak dengan binatang seperti anjing (90%), kucing, kera, serigala, kelelawar, dan di tularkan pada manusia melalui gigitan binatang atau kontak virus (saliva) dengan luka pada host ataupun membran mukosa. Setelah terinfeksi melalui gigitan, virus akan memasuki saraf perifer kemudian berjalan kearah system saraf pusat. Selama fase ini virus, virus tidak dapat terdeteksi dengan mudah di dalam tubuh penderita. Ketika virus mencapai otak, virus akan menyebabkan ensefalitis dengan cepat. Ini disebut sebagai fase prodromal dan merupakan gejala awal. Di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron-neuron, dangan predileksi terutama pada sel-sel system limbic, hipotalamus dan batang otak. Khususnya mengenai infeksi pada system limbic, pasien akan menyerang mangsanya tanpa ada provokasi dari luar. Ini di akibatkan Karena system limbic erat hubungannya dengan fungsi pengontrolan sikap emosional.
Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf  maupun saraf otonom. Dengan demikian, virus ini menyerang hampir setiap organ dan jaringan dalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan-jaringan seperti kelenjar ludah, ginjal dan lemak.

E.      PENATALAKSANAAN

1)    Penanganan
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies ; penanganannya hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. Isolasi penderita penting segera setelah diagnose ditegakkan untuk menghindari rangsangan-rangsangan yang dapat menimbulkan spasme otot dan mencegah penularan. Penderita rabies dapat diberikan obat-obat sedative dan analgesic secara adekuat untuk memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obat-obat anti serum, anti virus, interferon, kortikosteroid dan imunosupresif lainnya  tidak terbukti efektif.
2)   Pencegahan
Pada setiap keadaan, keputusan harus dilakukan kapan memulai profilaksis rabies pasca pemajanan. Ketika memutuskan kapan harus memberikan profilaksis rabies, digunakan pertimbangan berikut: (1) apakah individu mengalami kontak fisis dengan saliva atau bahan lain yang mungkin mengandung virus rabies, (2) apakah rabies diketahui atau diduga pada spesies dan area yang dihubungkan dengan pemajanan ( misalnya; semua individu dalam kepulauan Amerika digigit kelelawar yang kemudian lolos sabaiknya menerima profilaksis pasca-pemajanan), (3) keadaan sekitar pemajanan, dan (4) pengobatan alternative dan komplikasi. Untuk pencegahan penyakit rabies dapat dilakukan penanganan sbb:
a.     Penanganan Luka
Luka gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridement dan berikan desinfektan seperti alcohol 40-70%, larutan ephiran 0,1%. Luka tidak dibenarkan untuk di jahit kecuali bila keadaan memaksa dapat dilakukan jahitan situasi.
b.    Profilaksis pasca-paparan
Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies(VAR), yaitu:
(1)           Nerve Tissue Vaccine(NTV): vaksin ini berasal dari otak hewan dewasa seperti kelinci, kambing, domba dan monyet atau berasal dari otak bayi hewan mencit seperti Suckling Mouse Brain Vaccine ( SMBC ).
(2)         Non Nerve Tissue Vaccine: vaksin ini berasal dari telur itik bertunas (Duck Embryo Vaccine ; DEV ) dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti Human Diploid Cell Vaccine ( HDCV ) dan Purified vero Cell Rabies Vaccine ( PVRV ).
Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup, tetapi pada semua kasus gigitan yang parah dan semua gigitan binatang liar yang biasanya menjadi vector rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies( SAR ) adalah yang paling ideal dan memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan vaksin saja.. SAR dapat digolongkan dalam golongan serum homolog yang berasal dari manusia ( Human Rabies Immune Globulin ; HRIG ) dan serum heterolog yang berasal dari hewan.
Cara vaksinasi pasca paparan yang dilakuan pada paparan yang ringan berupa pemberian VAR secara intramuskuler dengan dosis 0,5 ml pada hari 0, 3, 7, 14, 28(regimen Essen/rekomendasi WHO), atau pemberian VAR 0,5 ml pada hari 0, 7, 21(regimen Zagreb/rekomendasi Depkes RI). Pada luka gigitan yang parah, gigitan leher leher keatas, pada jari tangan dan genetalia diberikan SAR 20 iu / kg berat badan dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada daerah luka dan setengah dosis intramuskuler pada tempat yang berlainan dengan suntikan SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.
c.     Profilaksis pra-pemajanan
Individu dengan resiko tinggi kontak dengan virus rabies yaitu dokter hewan, penyelidik goa, pekerja laboratorium dan pelatih binatang, sebaiknya mendapat profilaksis pra-pemajanan dengan vaksin rabies. Wisatawan yang akan berkunjung ke daerah-daerah endemis seperti meksiko, Thailand, Filipina, india, sri lanka di anjurkan mendapatkan pencegahan pre-exposure. VAR di berikan dengan dosis 1 ml secara intra muskuler pada hari ke 0, 7, dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun.

F.      KOMPLIKASI

Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase koma. Komplikasi neurotropik dapat berupa peningkatan tekanan intracranial;kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormone anti demik (SAHAD) ; disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi/hepertermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat local maupun generalisata dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernafasan terjadi pada fase neurologic akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik.


SUMBER:









0 komentar:

Design by The Blogger Templates

Design by The Blogger Templates