Kamis, 25 Oktober 2012

Askep Typoid Fever


ASUHAN KEPERAWATAN TYPOID FEVER
Konsep Dasar
I.       Pengertian
Thypoid fever/demam tifoid atau thypus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (T.H. Rampengan dan I.R. Laurentz, 1995). Penularan penyakit ini hampir selalu terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.

II.    Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Samonella Thposa/Eberthela Thyposa yang merupakan kuman negatif, motil dan tidak menghasilkan spora, hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang lebih rendah sedikit serta mati pada suhu 700C dan antiseptik. Salmonella mempunyai tiga macam antigen, yaitu Antigen O= Ohne Hauch=somatik antigen (tidak menyebar) ada dalam dinding sel kuman, Antigen H=Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil dan Antigen V1=kapsul ; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis. Ketiga jenis antigen ini di manusia akan menimbulkan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.

III. Patofisiologi.
Kuman salmonella masuk bersama makanan/minuman yang terkontaminasi, setelah berada dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama plak peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh limfe masuk ke darah (bakteremia primer) menuju organ retikuloendotelial sistem (RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini kuman difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi 5-9 hari kuman kembali masuk ke darah menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder) dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi usus. Dalam masa bakteremia ini kuman mengeluarkan endotoksin. Endotoksin ini merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di hipothalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala demam.
Makrofag pada pasien akan menghasilkan substansi aktif yang disebut monokines yang menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang imun sistem, instabilitas vaskuler, depresi sumsum tulang dan panas. Infiltrasi jaringan oleh makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosist sudah berdegenerasi yang dikenal sebagai tifoid sel. Bila sel ini beragregasi maka terbentuk nodul terutama dalam  usus halus, jaringan limfe mesemterium, limpa, hati, sumsum tulang dan organ yang terinfeksi.
Kelainan utama yang terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi (minggu I), nekrosis (minggu II) dan ulserasi (minggu III). Pada dinding ileum terjadi ulkus yang dapat menyebabkan perdarahan atau perforasi intestinal. Bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut.

IV. Gejala klinis
Masa inkubasi 7-20 hari, inkubasi terpendek 3 hari dan terlama 60 hari (T.H. Rampengan dan I.R. Laurentz, 1995). Rata-rata masa inkubasi 14 hari dengan gejala klinis sangat bervariasi dan tidak spesifik (Pedoman Diagnosis dan Terapi, Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 1994).
Walaupun gejala bervariasi secara garis besar gejala yang timbul dapat dikelompokan dalam : demam satu minggu atau lebih, gangguan saluran pencernaan dan gnagguan kesadaran. Dalam minggu pertama : demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi dan suhu badan meningkat (39-410C). Setelah minggu kedua gejala makin jelas berupa demam remiten, lidah tifoid dengan tanda antara lain nampak kering, dilapisi selaput tebal, dibagian belakang tampak lebih pucat, dibagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Pembesaran hati dan limpa, perut kembung dan nyeri tekan pada perut kanan bawah dan mungkin disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat seperti delirium.
Roseola (rose spot), pada kulit dada atau perut terjadi pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua. Merupakan emboli kuman dimana di dalamnya mengandung kuman salmonella.

V.    Pemeriksaan diagnostik dan hasil
1.      Jumlah leukosit normal/leukopenia/leukositosis.
2.      Anemia ringan, LED meningkat, SGOT, SGPT dan fsofat alkali meningkat.
3.      Minggu pertama biakan darah S. Typhi positif, dalam minggu berikutnya menurun.
4.      Biakan tinja positif dalam minggu kedua dan ketiga.
5.      Kenaikan titer reaksi widal 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang memastikan diagnosis. Pada reaksi widal titer aglutinin O dan H meningkat sejak minggu kedua. Titer reaksi widal diatas 1 : 200 menyokong diagnosis.

VI. Komplikasi.
         Perdarahan intestinal, perforasi intestinal, ileus paralitik, renjatan septik, pielonefritis, kolesistisis, pneumonia, miokarditis, peritonitis, meningitis, ensefalopati, bronkitis, karir kronik.

VII.    Penatalaksanaan
1.      Tirah baring atau bed rest.
2.      Diit lunak atau diit padat rendah selulosa (pantang sayur dan buahan), kecuali komplikasi pada intestinal.
3.      Obat-obat :
a.       Antimikroba :
-          Kloramfenikol 4 X 500 mg sehari/iv
-          Tiamfenikol 4 X 500 mg sehari oral
-          Kotrimoksazol 2 X 2 tablet sehari oral (1 tablet = sulfametoksazol 400 mg + trimetoprim 80 mg) atau dosis yang sama iv, dilarutkan dalam 250 ml cairan infus.
-          Ampisilin atau amoksisilin 100 mg/kg BB sehari oral/iv, dibagi dalam 3 atau 4 dosis.
Antimikroba diberikan selama 14 hari atau sampai 7 hari bebas demam.
b.      Antipiretik seperlunya
c.       Vitamin B kompleks dan vitamin C
4.      Mobilisasi bertahap setelah 7 hari bebas demam.

Asuhan Keperawatan
I.       Pengkajian
1.      Riwayat : makan daging, telur yang tidak dimasak, atau minuman yang terkontaminasi.
2.      Gastrointestinal : awal mual dan muntah, nyeri abdomen dan diare, distensi abdomen, pembesaran limpa.
3.      Suhu tubuh : pada fase akut demam 39-400C, meningkat hingga 410C.
4.      Kulit : rose spot dimana hilang dengan tekanan, ditemukan pada dada, perut setelah minggu pertama.
5.      Neurologis : delirium hingga stupor, perubahan kepribadian, katatonia, aphasia.
6.      Pernapasan : batuk non produktif.
7.      Muskuloskeletal : nyeri sendi
8.      Kardiovaskuler : takikardi, hipotensi, dan shock jika perdarahan, infeksi senkunder atau septikemia.

II.    Diagnosa Keperawatan
1.      Hipertermi berhubungan dengan gangguan hipothalamus oleh pirogen endogen.
2.      Diare berhubungan dengan infeksi pada saluran intestinal
3.      Resiko tinggi kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
4.      Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan adanya salmonella pada tinja dan urine.
5.      Konstipasi berhubungan dengan invasi salmonella pada mukosa intestinal.


III. Perencanaan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Perencanaan Keperawatan
Tujuan dan criteria hasil
Intervensi
Rasional
Hipertermi berhubungan dengan gangguan hipothalamus oleh pirogen endogen.

Suhu tubuh akan kembali normal, keamanan dan kenyaman pasien dipertahankan selama pengalaman demam dengan kriteria suhu antara 366-373 0C, RR dan Nadi dalam batas normal, pakaian dan tempat tidru pasien kering, tidak ada reye syndrom, kulit dingin dan bebas dari keringat yang berlebihan
1.      Monitor tanda-tanda infeksi

2.      Monitor tanda vital tiap 2 jam



3.      Kompres dingin pada daerah yang tinggi aliran darahnya
4.      Berikan suhu lingkungan yang nyaman bagi pasien. Kenakan pakaian tipis pada pasien.
5.      Monitor komplikasi neurologis akibat demam

6.      Atur cairan iv sesuai order atau anjurkan intake cairan yang adekuat.
7.      Atur antipiretik, jangan berikan aspirin
1.Infeksi pada umumnya menyebabkan peningkatan suhu tubuh
2.Deteksi resiko peningkatan suhu tubuh yang ekstrem, pola yang dihubungkan dengan patogen tertentu, menurun idhubungkan denga resolusi infeksi
3. Memfasilitasi kehilangan panas lewat konveksi dan konduksi

4. Kehilangan panas tubuh melalui konveksi dan evaporasi


5.Febril dan enselopati bisa terjadi bila suhu tubuh yang meningkat.
6.Menggantikan cairan yang hilang lewat keringat

7.Aspirin beresiko terjadi perdarahan GI yang menetap.
Diare berhubungan dengan infeksi pada saluran intestinal

Pasien akan kembali normal pola eliminasinya dengan kriteria makan tanpa muntah, mual, tidak distensi perut, feses lunak, coklat dan berbentuk, tidak nyeri atau kram perut.
1.      Ukur output

2.      Kompres hangat pada abodmen
3.      Kumpulkan tinja untuk pemeriksaan kultur.
4.      Cuci dan bersihkan kulit di sekitar daerah anal yang terbuka sesering mungkin
1.Menggantikan cairan yang hilang agar seimbang
2.Mengurangi kram perut (hindari antispasmodik)
3.Mendeteksi adanya kuman patogen
 4. Mencegah iritasi dan kerusakan kulit
Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan adanya salmonella pada tinja dan urine.

Pasien akan bebas infeksi dan komplikasi dari infeksi salmonella dengan kriteria tanda vital dalam batas normal, kultur darah, urine dan feses negatif, hitung jenis darah dalam bataas normal, tidak ada perdarahan.
1.          Kumpulkan darah, urine dan feses untuk pemeriksaan sesuai aturan.

2.          Atur pemberian agen antiinfeksi sesuai order.


3.          Pertahankan enteric precaution sampai 3 kali pemeriksaan feses negatif terhadap S. Thypi
4.          Cegah pasien terpapar dengan pengunjung yang terinfeksi atau petugas, batasi pengunjung
5.          Terlibat dalam perawatan lanjutan pasien
6.          Ajarkan pasien mencuci tangan, kebersihan diri, kebutuhan makanan dan minuman, mencuci tangan setelah BAB atau memegang feses.
1.Pengumpulan yang salah bisa merusak kuman patogen sehingga mempengaruhi diagnosis dan pengobatan

2.Anti infeksi harus segera diberikan untuk mencegah penyebaran ke pekerja, pasien lain dan kontak pasien.
3.Mencegah transmisi kuman patogen


4.Membatasi terpaparnya pasien pada kuman patogen lainnya.


5.Meyakinkan bahwa pasien diperiksa dan diobati. 
6.Mencegah infeksi berulang
Resiko tinggi kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.

Keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan dengan kriteria turgor kulit normal, membran mukosa lembab, urine output normal, kadar darah sodium, kalium, magnesium dna kalsium dalam batas normal.
1.          Kaji tanda-tanda dehidrasi
2.          Berikan minuman per oral sesuai toleransi
3.          Atur pemberian cairan per infus sesuai order.
4.          Ukur semua cairan output (muntah, diare, urine. Ukur semua intake cairan.
1.Intervensi lebih dini
2.Mempertahankan intake yang adekuat

3.Melakukan rehidrasi

4.Meyakinkan keseimbangan antara intake dan ouput
Konstipasi berhubungan dengan invasi salmonella pada mukosa intestinal.

Pasien bebas dari konstipasi dengan kriteria feses lunak dan keluar dengan mudah, BAB tidak lebih dari 3 hari.
1.          Observasi feses

2.          Monitor tanda-tanda perforasi dan perdarahan
3.          Cek dan cegah terjadinya distensi abdominal

4.          Atur pemberian enema rendah atau glliserin sesuai order, jangan beri laksatif.
1.Mendeteksi adanya darah dalam feses
2.Untuk intervensi medis segera

3.Distensi yang tidak membaik akan memperburuk perforasi pada intestinal
4.Untuk menghilangkan distensi








Daftar Pustaka

Grimes, E.D, Grimes, R.M, and Hamelik, M, 1991, Infectious Diseases, Mosby Year Book, Toronto.

Rampengan dan Laurentz, 1995, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, cetakan kedua, EGC, Jakarta.

Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs Approach,J.B. Lippincott Company, London.



Askep Sirosis Hepatis


SIROSIS HEPATIS


1. KONSEP DASAR
1.1 PENGERTIAN:
Sirosis hati merupakan penyakit hati menahun yang ditandai dengan gambaran patologi berupa fibrosis yang merata, pembentukan nodul-nodul parenkim hati disertai menghilangnya gambaran lobulus hati yang normal. Pada penyakit ini terdapat kerusakan sel-sel hati yang berakibat menghilangnya sel-sel tersebut secara ekstensif dengan disertai kerusakan saluran pembuluh-pembuluh darah didalam hati. (Hernomo, 1983)

1.2 ETIOLOGI:
  • Hepatitis Virus
  • Alkoholisme
  • Penyakit metabolik ( hemokromatosis, penyakit Wilson, defisiensi alfa-1 antitripsin, Glikogenosis tipe IV, galaktosemi)
  • Penyakit saluran empedu (sirosis bilier primer, obstruksi saluran empedu ekstrahepatik)
  • Venous overflow obstruction (veno-occlusive disease, sindroma budd-Chiari)
  • Racun dan obat-obatan (alkaloid pyrolizidine, Methotrexate, Oxyphenisatin, Alpa methyldopa)
  • Operasi pintasan usus untuk obesitas.

1.3 PENGELOLAAN:
  • Pengelolaan penderita sirosis yang kompensata ditujukan untuk mengenali sedini mungkin adanya tanda-tanda kegagalan faal hati.
  • Dasar-dasar pemberian diet yang adekuat dengan menghindari alkohol harus dijelaskan pada penderita.
  • Pemberian diet dengan protein sebanyak 1 gram/kg BB, kecuali bila ada malnutrisi.
  • Diit rendah garam dan diuretika dapat diberikan pada penderita yang mempunyai sembab tungkai dan asites.
  • Bila timbul tanda-tanda ensefalohepatik dibutuhkan diet rendah protein.

1.4 PATOFISIOLOGI




2. PENGKAJIAN
2.1. Data demografi:
Pada umumnya sebagian besar penderita sirosis hati berusia antara 40 dan 70 tahun, rata-rata 50 tahun. Pria pada umumnya lebih banyak terkena , terutama pada bentuk sirosis alkoholik, kriptogenik dan hemokromatosis; sedang wanita lebih dominan pada penyakit Wilson, sirosis bilier dan hepatitis kronik aktif.
2.2 Keluhan utama:
Penyakit ini dapat berjalan tanpa keluhan dan dapat juga dengan atau tanpa gejala klinik yang jelas. Mula-mula timbul kelemahan badan, rasa cepat payah yang makin menghebat, nafsu makan menurun, penurunan berat badan, badan menguning (ikterus), demam ringan, sembab tungkai dan pembesaran perut (asites).
2.3 Aktivitas istirahat:
Kelemahan, kelelahan.
2.4 Sistem kardiovaskuler/Sirkulasi:
Riwayat perikarditis, penyakit jantung reumatik, kanker (malfungsi hati menimbulkan kegagalan hati). Disritmia, bunyi jantung tambahan (S3, S4). Vena abdomen distensi.
2.5 Sistem Pernapasan:
Dispnea, takhipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan. Ekspansi paru terbatas disebabkan karena asites atau efusi pleura. Hipoksia. Napas berbau aseton.
2.6 Sistem Pencernaan
Distensi abdomen (hepatomegali, splenomegali, asites), nyeri tekan abdomen kuadran kanan atas. Penurunan/tak adanya bising usus. Feses warna tanah liat, melena. Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/tak dapat mencerna. Mual/muntah, penurunan berat badan atau peningkatan karena cairan. Perdarahan gusi.
2.7 Sistem perkemihan
Urine gelap,pekat.
2.8 Sistem persarafan/Neurosensori:
Perubahan kepribadian, penurunan mental: bingung, halusinasi, koma. Bicara lambat/tak jelas. Asterik (ensefalopati hepatik)
2.9 Sistem Endokrin
Seksualitas: gangguan menstruasi, ginecomasti, impoten. Atrofi testis,
kehilangan rambut ( dada, bawah lengan, pubis).
Resistensi thd insulin endogen à gangguan pada GTT (Glucosa Toleransi Test)
2.10 Sistem Integumen:
Kulit kering, turgor buruk, ikterik, angioma palmaris, spider naevi, pruritus,. edema umum pada jaringan.
2.11 Sistem Muskuloskeletal:
Letargi, penurunan massa otot/tonus  (atropi otot).

3. Pemeriksaan diagnostik:
3.1 Laboratorik:
  • Anemia ringan sampai berat, dengan penyebab perdarahanan SMBA akut atau menahun,  defisiensi asam folat, hipersplenisme dan efek langsung dari alkohol terhadap sumsum tulang.
  • Lekopeni, trombositopeni, timbul akibat hipersplenisme atau efek langsung pada sumsum tulang.
  • Hiperbilirubiemia, karena gangguan seluler, ketidakmampuan hati untuk mengkonjunggasi, atau obstruksi bilier
  • Peningkatan  alkali fosfatase, karena penurunan ekskresi
  • SGOT biasanya dibawah 250 unit, SGPT lebih rendah sampai normal
  • Albumin menurun, karena penekanan sintesis
  • Globulin meningkat, rasio albumin/globulin kurang dari 1.
  • Pemeriksaan kwantitatif imunoglobulin menunjukkan peningkatan semua fraksi, terutama IgG.
  • BUN meningkat, menunjukkan kerusakan darah/protein
  • Pada keadaan lanjut bisa terjadi defisiensi faktor-faktor pembekuan darah dengan peningkatan PPT dan PTT.
  • Kadar amonia darah meningkat, karena ketidakmampuan untuk berubah dari amonia menjadi urea, menunjukkan adanya gabungan kegagalan faal hati dan shunting dari darah portal ke sirkulasi sistemik.
  • Gangguan pada GTT, menunjukkan adanya resistensi terhadap insulin endogen.
  • Peningkatan diuresis pada pasien dengan asites dan sembab tungkai dapat menimbulkan dilutional hiponatremia dan hipokalemia, yang menunjukkan adanya hiperaldosternisme sekunder.
  • Kalsium: mungkin menurun sehubungan dengan gangguan absorbsi vitamin D.
  • Urobilinogen urine: ada/tidak ada. Sebagai penunjuk untuk membedakan penyakit hati, penyakit hemolitik, dan obstruksi bilier.
3.2 Biopsi hati, untuk:
  • Menetapkan morfologi sirosis,
  • Menetapkan stadium aktivitas penyakit,
  • Mendapatkan informasi tentang perjalanan penyakit dan komplikasinya seperti obstruksi saluran empedu intrahepatik dan timbulnya karsinoma hepatoseluler.
  • Mengetahui respon penyakit terhadap pengobatan, dan
  • Menetapkan dugaan faktor-faktor penyebabnya.
3.3 Pemeriksaan endoskopik dan radiologik:
Dapat ditemukan adanya varises esofagus.

4. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1)      Nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Diet tidak adekuat; ketidakmampuan untuk memproses/mencerna makanan. Anoreksia, mual/muntah, tidak mau makan, mudah kenyang (asites). Fungsi usus abnormal.
2)      Volume cairan: kelebihan berhubungan dengan: gangguan mekanisme regukasi (contoh SIADH, penurunan protein plasma, malnutrisi). Kelebihan natrium/masukan cairan.
3)      Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan: gangguan sirkulasi/status metabolik. Akumulasi garam empedu pada kulit. Turgor kulit buruk, penonjolan tulang, adanya edema, asites.
4)      Resiko tinggi pola pernapasan tak efektif berhubungan dengan pengumpulan cairan intra abdomen (asites). Penurunan ekspansi paru, akumulasi sekret. Penurunan energi, kelemahan.
5)      Resiko tinggi cedera (hemoragi) berhubungan dengan profil darah abnormal: gangguan faktor pembekuan (penurunan produksi protrombin, fibrinogen, dan faktor VIII, IX dan X; gangguan absorpsi vitamin K dan pengeluaran tromboplastin). Hipertensi portal.
6)      Resiko tinggi terhadap perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis: peningkatan kadar amonia serum, ketidakmampuan hati untuk detoksikasi enzim/obat tertentu.
7)      Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat, kesalahan interpretasi. Ketidakbiasaan terhadap sumber-sumber informasi.
8)      Gangguan harga diri/citra tubuh berhubungan dengan perubahan biofisika/gangguan penampilan fisik. Prognosis yang meragukan, perubahan peran fungsi. Pribadi rentan.

5. RENCANA KEPERAWATAN
DP 1 :
Nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Diet tidak adekuat; ketidakmampuan untuk memproses/mencerna makanan. Anoreksia, mual/muntah, tidak mau makan, mudah kenyang (asites). Fungsi usus abnormal.
Tujuan:
Menunjukkan peningkatan berat badan progresif mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal.
Kriteria evaluasi
Pasien tidak mengalami tanda malnutrisi lebih lanjut.
INTERVENSI
RASIONAL
·         Ukur masukan diet harian dengan jumlah kalori.
·         Timbang sesuai indikasi. Bandingkan perubahan status cairan, riwayat berat badan, ukuran kulit trisep.
·         Bantu dan dorong pasien untuk makan, jelaskan alasan tipe diet. Bantu pasien makan bila pasien mudah lelah, atau biarkan orang terdekat membantu pasien. Pertimbangkan pilihan makanan yang disukai
·         Dorong pasien untuk makan semua makanan/makanan tambahan.

·         Berikan makanan sedikit dan sering.

·         Berikan tambahan garam bila diizinkan; hindari yang mengandung amonium.
·         Batasi masukan kafein, makanan yang menghasilkan gas atau berbumbu dan terlalu panas atau terlalu dingin.
·         Berikan makanan halus, hindari makanan kasar sesuai indikasi.
·         Berikan perawatan mulut sering dan sebelum makan.

·         Tingkatkan periode tidur tanpa gangguan, khususnya sebelum makan.
·         Anjurkan menghentikan merokok.

·         Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh glukosa serum, albumin, total protein, amonia.





·         Pertahankan status puasa bila diindikasikan.


·         Konsul ahli diit untuk memberikan diet tinggi dalam kalori dan karbohidrat sederhana, rendah lemak, dan tinggi protein sedang; batasi natrium dan cairan bila perlu. Berikan tambahan cairan sesuai indikasi.

·         Berikan makanan dengan selang, hiperalimentasi, lipid sesuai indikasi.

·         Berikan obat sesuai indikasi, misal: tambahan vitamin, tiamin, besi, asam fosfat,


·         Sink,

·         Enzim pencernaan, contoh: pankreatin
·         Antiemetik.
·         Memberikan informasi tentang kebutuhan pemasukan/defisiensi.
·         Mungkin sulit untuk menggunakan BB sebagai indikator langsung status nutrisi karena ada gambaran edema/asites. Lipatan kulit trisep berguna dalam mengkaji perubahan massa otot dan simpanan lemak subcutan.
·         Diet yang tepat penting untuk penyembuhan. Pasien mungkin makan lebih baik bila keluarga terlibat dan makanan yang disukai sebanyak mungkin.


·         Pasien mungkin hanya makan sedikit karena kehilangan minat pada makanan dan mengalami mual, kelemahan umum, malaise.
·         Buruknya toleransi terhadap makan banyak mungkin berhubungan dengan peningkatan tekanan intra abdomen/asites.
·         Tambahan garam meningkatkan rasa makanan dan membantu meningkatkan selera makan; amonia potensial resiko ensefalopati.
·         Membantu dalam menurunkan iritasi gaster/diare dan ketidaknyamanan abdomen yang dapat mengganggu pemasukan oral/pencernaan.

·         Perdarahan dari varises esofagus dapat terjadi pada siriosis berat.
·         Pasien cenderung mengalami luka atau perdarahan gusi dan rasa tak enak pada mulut dimana menambah anoreksia.
·         Penyimpanan energi menurunkan kebutuhan metabolik pada hati dan meningkatkan regenerasi seluler.
·         Menurunkan rangsangan gaster berlebihan dan resiko iritasi /perdarahan.
·         Glukosa menurun karena gangguan glikogenesis, penurunan simpanan glikogen, atau masukan takadekuat. Protein menurun karena gangguan metabolisme, penurunan sintesis hepatik, atau kehilangan kerongga peritonial (asites). Peningkatan kadar amonia perlu pembatasan masukan protein untuk mencegah komplikasi serius.
·         Pada awalnya, pengistirahatan GI diperlukan untuk menurunkan kebutuhan pada hati dan produksi amonia/urea GI.

·         Makanan tinggi kalori dibutuhkan pada kebanyakan pasien yang pemasukannya dibatasi, karbohidrat memberikan energi siap pakai. Lemak diserap dengan buruk karena disfungsi hati dann mungkin memperberat ketidaknyamanan abdomen. Protein diperlukan pada perbaikan kadar protein serum untuk menurunkan edema dan untuk meningkatkan regenerasi sel hati.
·         Mungkin diperlukan untuk diet tambahan untuk memberikan nutrien bila pasien terlalu mual atau anoreksia untuk makan atau varises esofagus mempengaruhi masukan oral.
·         Pasien biasanya kekurangan vitamin karena diet yang buruk sebelumnya. Juga hati tidak dapat menyimpan vit. A, B Komplek, D, dan K. Juga dapat terjadi kekurangan besi dan asam fosfat yang menimbulkan anemia.
·         Meningkatkan rasa kecap/bau yang dapat merangsang napsu makan.
·         Meningkatkan pencernaan lemak dan dapat menurunkan steatore/diare.
·         Digunakan dengan hati-hati untuk menurunkan mual/muntah dan meningkatkan masukan oral.

DP 2 :
Perubahan volume cairan: kelebihan berhubungan dengan gangguan mekanisme regukasi (contoh SIADH, penurunan protein plasma, malnutrisi). Kelebihan natrium/masukan cairan.
Tujuan: tidak terjadi kelebihan cairan
Kriteria evaluasi:
·         menunjukkan volume cairan stabil
·         pemasukan dan pengeluaran seimbang
·         berat badan stabil, tidak ada edema
·         tanda vital dalam rentang normal
Intervensi
Rasional
·         Ukur masukan dan haluaran, catat keseimbangan positif. Timbang berat badan tiap hari dan catat peningkatan lebih dari 0,5 kg/hari
·         Awasi TD dan CVP. Catat JVD/distensi vena.



·         Auskultasi paru, catat penurunan /tak adanya bunyi napas dan terjadinya bunyi tambahan.
·         Awasi disritmia jantung, auskultasi bunyi jantung, catat terjadinya irama gallop S3/S4.
·         Kaji derajad perifer/edema dependen.

·         Ukur lingkar abdomen


·         Dorong untuk tirah baring bila ada asites.
·         Berikan perawatan mulut.
·         Awasi albumin serum dan elektrolit (kalium & natrium).




·         Awasi seri foto dada.

·         Batasi natrium dan cairan sesuai indikasi.



·         Berikan albumin bebas garam/plasma ekspander sesuai indikasi.


·         Berikan obat sesuai indikasi: misal diuretik (spironolakton/aldscton; furosemid/ lasix.


·         Kalium


·         Obat inotropik positif dan vasodilatasi arterial.
·         Menunjukkan status volume sirkulasi, terjadinya/perbaikan perpindahan cairan, dan respon terhadap terapi. Peningkatan berat badan sering menunjukkan retensi cairan lanjut.
·         Peningkatan TD biasanya berhubungan dengan kelebihan volume cairan tetapi mungkin tidak terjadi karena perpindahan cairan keluar area vaskuler. Distensi juguler eksternal dan vena abdominal sehubungan dengan kongesti vaskuler.
·         Peningkatan kongesti pulmonal dapat mengakibatkan konsolidasi, gangguan pertukaran gas, dan komplikasi, contoh: edema paru.
·         Mungkin disebabkan GJK, penurunan perfusi arteri koroner, dan ketidak seimbangan elektrolit.

·         Perpindahan cairan pada jaringan sebagai akibat retensi natrium dan air, penurunan albumin dan penurunan ADH.
·         Menunjukkan akumulasi cairan (asites) diakibatkan oleh kehilangan protein plasma/cairan kedalam area peritoneal.
·         Dapat meningkatkan posisi rekumben untuk diuresis.
·         Menurunkan rasa haus.
·         Penurunan albumin serum mempengaruhi tekanan osmotik koloid plasma, mengakibatkan pembentukan edema. Penurunan aliran darah ginjal menyertai peningkatan ADH dan kadar aldosteron dan penggunaan diuretik dapat menyebabkan berbagai perpindahan/ketidak seimbangan elektrolit.
·         Kongesti vaskuler, edema paru, dan efusi pleural sering terjadi.
·         Natrium mungkin dibatasi untuk meminimalkan retensi cairan dalam area ekstravaskuler. Pembatasan cairan perlu untuk memperbaiki/mencegah hiponatremi.
·         Albumin mungkin diperlukan untuk meningkatkan tekanan osmotik koloid dalam kompartemen vaskuler, sehingga meningkatkan volume sirkulasi efektif dan penurunan terjadinya asites.
·         Digunakan untuk mengontrol edema dan asites. Mengambat efek aldosteron, meningkatkan eksresi air sambil menghemat kalium, bila terapi konservatif dengan tirah baring dan pembatasan natrium tidak mengatasi.
·         Kalium serum dan seluler biasanya menurun karena penyakit hati sesuai dengan kehilangan urine.
·         Diberikan untuk meningkatkan curah jantung/perbaikan aliran darah ginjal dan fungsinya, sehingga menurunkan kelebihan cairan.

DP 3 :
Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi/status metabolik. Akumulasi garam empedu pada kulit. Turgor kulit buruk, penonjolan tulang, adanya edema, asites.
Tujuan: mempertahankan integritas kulit
Kriteria evaluasi:
Pasien akan mengidentifikasi faktor resiko dan menunjukkan perilaku/tehnik untuk mencegah kerusakan kulit.
Intervensi
Rasional
·         Lihat permukaan kulit/titik tekan secara rutin. Pijat penonjolan tulang atau area yang tertekan terus menerus. Gunakan losion minyak.
·         Ubah posisi pada jadwal teratur, saat di kursi/tempat tidur, bantu dengan latihan rentang gerak aktif/pasif.
·         Tinggikan ekstrimitas bawah.
·         Pertahankan sprei kering dan bebas lipatan.
·         Gunting kuku jari hingga pendek; berikan sarung tangan bila diindikasikan.
·         Berikan perawatan perineal setelah berkemih dan defekasi.
·         Gunakan kasur bertekanan tertentu, kasur karton telur, kasur air, kulit domba, sesuai indikasi.
·         Berikan losion kalamin. Berikan kolestiramin (questran) bila diindikasikan.

·         Edema jaringan lebih cenderung untuk mengalami kerusakan dan terbentuk dicubitus. Asites dapat meregangkan kulit sampai pada titik robekan pada sirosis berat

·         Pengubahan posisi menurunkan tekanan pada jaringan edema untuk memperbaiki sirkulasi. Latihan meningkatkan sirkulasi dan perbaikan/mempertahankan mobilitas sendi.
·         Meningkatkan aliran balik vena dan menurunkan edema pada ekstrimitas.
·         Kelembaban meningkatkan pruritus dan meningkatkan resiko kerusakan kulit.
·         Mencegah pasien dari cedera tambahan pada kulit khususnya bila tidur.
·         Mencegah ekskoriasi kulit dari garam empedu.

·         Menurunkan tekanan kulit, meningkatkan sirkulasi dan menurunkan resiko iskemia/kerusakan jaringan.

·         Mungkin menghentikan gatal sehubungan dengan ikterik, garam empedu pada kulit.

DP4 :
Resiko tinggi pola pernafasan tak efektif berhubungan dengan Pengumpulan cairan intra abdomen (asites). Penurunan ekspansi paru, akumulasi sekret. Penurunan energi, kelemahan.
Tujuan: Mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi:
Pasien akan bebas dispnea dan sianosis, dengan nilai BGA dan kapasitas vital dalam rentang normal.
Intervensi
Rasional
·         Awasi frekuensi, kedalaman, dan upaya pernapasan
·         Auskultasi bunyi napas, catat krekels, mengi, ronkhi.




·         Selidiki perubahan tingkat kesadaran.

·         Pertahankan kepala tempat tidur tinggi. Posisi miring.

·         Ubah posisi dengan sering, dorong napas dalam, latihan dan batuk.
·         Awasi suhu. Catat adanya menggigil, meningkatnya batuk, perubahan warna/karakter sputum.
·         Awasi seri BGA, nadi oksimetri, ukur kapasitas vital, foto dada.
·         Berikan tambahan oksigen sesuai indikasi.

·         Bantu dengan alat-alat pernapasan, contoh spirometri intensif, tiupan botol.
·         Siapkan untuk/bantu untuk prosedur, contoh: parasintesis.
·         Pirau peritoneovena.
·         Pernapasan dangkal cepat/dispnea mungkin ada sehubungan dengan hipoksia dan atau akumulasi cairan dalam abdomen.
·         Menunjukkan terjadinya komplikasi, contoh: adanya bunyi tambahan menunjukkan akumulasi cairan/sekresi, tak ada /menurunnya bunyi atelektasis), meningkatkan resiko infeksi.
·         Perubahan mental dapat menunjukkan hipoksemia dan gagal pernapasan, yang sering disertai koma hepatik.
·         Memudahkan pernapasan dengan menurunkan tekanan pada diafragma dan meminimalkan ukuran aspirasi sekret.
·         Membantu ekspansi paru dan memobilisasi sekret.

·         Menunjukkan timbulnya infeksi, contoh pneumonia.


·         Menyatakan perubahan status pernapasan, terjadinya komplikasi paru.
·         Mungkin perlu untuk mengobati/mencegah hipoksia. Bila pernapasan /oksigenasi tidak adekuat, ventilasi mekanik sesuai kebutuhan.
·         Menurunkan insiden atelektasis, meningkatkan mobilitas sekret.
·         Kadang-kadang dilakukan untuk membuang cairan asites bila keadaan pernapasan tidak mebaik dengan tindakan lain.
·         Bedah penanaman kateter untuk mengembalikan akumulasi cairan dalam abdomen ke sistem sirkulasi melalui vena kava, memberikan penghilangan asites jangka panjang dan memperbaiki fungsi pernapasan.


Daftar pustaka

Carpenito L.J. (1999). Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. EGC

Doenges M.E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC.

Hernomo O.K. (1983). Pengelolaan Perdarahan Masif Varices Esofagus Pada Sirosis Hati. Airlangga University Press.


Design by The Blogger Templates

Design by The Blogger Templates